FOTO : Google |
Sebagian dari
kita mungkin berasal dari desa. Desa sejak lama, telah dijadikan sebagai tempat
hiburan sendiri untuk mudik, untuk memupuk rindu atau cari jodoh.
Masyarakat desa
pun bisa dibilang sebagai kenyataan dari warga pribumi di Indonesia, yang membangun
Indonesia dalam diam. Ketika pembangunan di desa bobrok alias tidak sesuai
harapan, pastilah tidak akan tercapai harapan suatu bangsa.
Lihat saja
bagaimana semua kampanye kesuksesannya berasal dari desa, terkadang dibumbui
‘politik kotor’. Setelah para pemimpin itu terpilih, mereka lalu memanipulasi
segala saluran uang yang seharusnya mengalir ke desa, menuju kantongnya.
Sementara para
penduduk desa yang semangatnya menggebu-gebu saat diberikan orasi kampanye yang
penuh janji palsu hanya terseret oleh kebijakan yang jarang sekali
menguntungkan mereka.
Inilah,
bagaimana transparansi dana desa mungkin perlu diketahui oleh penduduk desa itu
sendiri. Bertambah lagi beban rakyat, untuk mengawasi pemimpinnya sendiri.
Bukankah seharusnya, rakyat hanya perlu hidup tentram, dan bekerja sebagai
‘rakyat’ karena mereka sudah memilih pemimpin yang mereka percayai untuk
mengurusi segala kepentingan yang akan mereka dapatkan.
Bukankah itu
esensi demokrasi? Tetapi, bagaimana pun juga, masalah ada untuk diselesaikan. Saya
punya sedikit cerita di desa yang terletak di kecamatan Bangkala di Sulawesi
Selatan.
Salah satu desa
disana, dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, tidak memiliki perubahan berarti,
justru yang ada adalah beberapa kasus korupsi yang dilakukan oleh penduduk
setempat memiliki jabatan tertentu dalam sebuah instansi. Mungkin hal tersebut
dipicu oleh kurangnya transparansi dana desa. Sehingga memudahkan tangan-tangan
jahil untuk menjamah yang bukan haknya.
Rata-rata
pemuda yang yang tinggal di desa pun lebih sering memilih untuk pergi keluar
desa mencari kehidupan yang lebih ‘segar’. Setelahnya, jarang ada yang mau
kembali untuk membangun desanya. Cukup miris namun ini merupakan fenomena nyata
yang terjadi di hampir seluruh desa di Indonesia. Adapun pemuda yang memilih
tetap tinggal di desa, namun partisipasi untuk membangun desa masih minim.
Mereka yang
masih tinggal di desa, biasanya dengan apa adanya hanya bertani dan tak jarang
menjadi perjaka tua. Gerakan bersifat pemuda juga cukup tidak terlihat.
Contohnya
remaja masjid yang bahkan tidak ada, masjidnya hanya diisi oleh para orang tua
dan imam kampung yang juga sudah tua. Mungkin alasan yang melatar belakangi
semua itu, ialah kurangnya semangat membangun desa oleh generasi pemuda. Mereka
lebih memilih untuk hidup di zona nyaman saat berhasil di perkotaan.
Dibalik itu
semua, dukungan pemerintah juga terlihat pasif. Saya juga punya pengalaman saat
berkunjung ke Kampung Kreatif Dago Pojok yang terletak di Bandung. Dulunya kampung
tersebut cukup terbelakang, dan hampir saja mati ketika dilakukan pembangunan
proyek yang terletak tak jauh dari posisi kampung itu.
Kemudian, bagai
seorang pahlawan datanglah seorang pria yang disapa Kang Rahmat. Kang Rahmat
merupakan pegiat seni yang mencoba membangun kampung dago pojok untuk tetap
hidup sebagai kamlung kreatif. Dimana penduduk disana di suguhi berbagai macam
produksi karya kreatif dengan nilai seni yang tinggi. Seperti permainan wayang
golek khas Sunda, batik, kriya, kaos sablon, lukis, dan masih banyak lagi.
Dinding-dinding
rumah yang dulunya buta oleh warna, kini dihiasi oleh mural yang penuh makna.
Anak-anak sampai orang dewasa pun selalu digiatkan untuk bekerja dengan cara
kreatif. Hingga pada akhirnya kampung tersebut menjadi cukup terkenal, bahkan
menjadi salah satu objek wisata di kota Bandung.
Namun yang
cukup disayangkan adalah, sikap pemerintah yang cukup acuh dengan adanya
kampung kreatif tersebut. Sehingga membuat penduduk disana menjadi terlampau
mandiri untuk membangun kamlungnya, tanpa bantuan pemerintah. Justru mereka
yang membantu pemerintah dalam hal pembangunan di sektor pariwisata.
Bisa jadi,
membuat kampung kreatif adalah salah satu solusi yang dapat dilakukan untuk
membangun desa. Dengan kampung kreatif, penduduk bisa menjadi produktif dalam
menghasilkan berbagai produksi sehingga dapat menopang berbagai kehidupan di
dalamnya. Pemuda juga dapat berpartisipasi disana, dan tidak perlu lagi ke
kota. Karena harus bersatu dalam membangun desanya.
Oleh : Khasya H.
(Mahasiswi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Tadalako)
hehehe, main-main aja atuh. kami juga baru pertama berkunjung disana
ReplyDelete