Opini

   


    A.    OPINI 
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan Balai Pustaka, opini disebutkan sebagai ”pendapat; ”pikiran,” atau ”pendirian”. Menulis  opini berarti menyebar luaskan gagasan. Dengan menulis opini, maka seseorang berarti mentransfer ide dan gagasannya ke ruang publik. Ia masuk ke ranah publik dan berusaha mempengaruhi publik, dengan tujuan akhir, gagasannya diterima atau juga diperdebatkan.
Menurut buku pengantar komunikasi 2 analisis dan aplikasi,  opini (opinion) adalah ekpsresi dari suatu sikap. Opini dapat bervariasi baik dalam hal intensitas dan stabilitas. Dengan melihat pada interpretasi awal dalam bahasa prancis dan bahasa inggris dari opini, Noelle-Neumann menyatakan bahwa opini adalah tingkat persetujuan dari populasi tertentu. Dalam proses spiral keheningan, opini sama artinya dengan sesuatu yang dianggab berterima (Richard west, P 122).
Opini memang bisa diartikan sebagai pandangan seseorang tentang suatu masalah. Tidak sekadar pendapat, tetapi pendapat ilmiah. Pendapat yang bisa dipertanggungjawabkan dengan berdasar dalil-dalil ilmiah yang disajikan dalam  bahasa yang lebih  popular. Karena itulah, untuk menulis opini juga dibutuhkan riset. Riset merupakan penguat dari argumentasi penulis untuk menekankan gagasannya. Opini inilah yang ditulis dan dituangkan dalam bentuk ”artikel.”
Untuk menulis opini dibutuhkan:
   1.      Pengetahuan akan bidang/masalah tertentu
   2.      Ide dan Gagasan
   3.      Argumentasi gagasan
   4.      Teknik Penulisan Opini 
   5.      Pengetahuan bahasa
   6.      Pengetahuan Tentang Media Massa (L.R. Baskoro, Redaktur Pelaksana, Majalah Tempo).
Melengkapi “teori” Djadjad Sudradjat, berikut ini dipaparkan bentuk-bentuk tulisan dalam surat kabar yang terkatagorikan opini. Pada umunnya, media massa cetak menyediakan sebagiansebagaimana halamanya untuk menampung opini atau pendapat (wujud dari fungsi pers sebagai alat kontrol sosial). Opini ini bisa berupa opini umum (public opinion), bisa pula berupa opini redaksi (dsk opinion). Wujud tulisan opini umum artikel, kolom, dan surat pembaca, sedangkan wujud tulisan opini redaksi adalah tajuk rencana, pojok, dan karikatur.
Kolom Opini
Editorial dan kolom opini memiliki satu kemiripan : keduanya adalah opini sekaligus analisis subjektif. Keduanaya juga mempunyai perbedaan penting.
Kolom opini disertai nama penulisa dan berisi opini (menggunakan kata pertama  “saya”) dari seseorang, kecuali  kolumunis itu memilih memasukkan opini dari orang lain. Tulisan editorial tidak disertai pencantuman nama penulisannya dan merupakan opini staf keseluruhan, meskipun ditulis oleh satu orang. Kolom opini kurang formal ketimbang editorial; kolumunis punya lebih banyak keleluasaan dan biasanya banyak ruang untuk menyajikan ide-idenya.
Kolom opini sering kali disusun dengan cara yang sama sperti editorial,, diawali dengan pendahuluan, diikuti oleh isi dan diakiri dengan kesimpulan. Metode penceritaan atau kronologis bisa juga dipakai. Jarang penulisan yang memilih bentuk piramida terbalik-dari yang terpenting ke yang paling kurang penting.
Kolomnis sering mengembangkan gaya dan suara sendiri dan memiliki topik sendiri yang sesuai dengan gayanya itu. Beberapa kolomnis selalu menulis tentang masalah yang dapat ditulis secara humoris, uang, trevel, atau olah raga. Beberapa penulis menulis apa yang sering disebut “keadaan manusia,” kemenangan atau tragedi kehidupan manusia. Beberapa yang lainnya memperjuangkan kaum tertindas,miskin, dan tersisih. Ada kolumnis yang ditulisnya diatas rata-rata kemampuan membaca umum, yakni istilahnya untuk  membaca yang lebih terdidik secara intelektual. Beberapa orang hanya menulis tentang Bahasa Indonesia dan bagaimana orang menggunakan dan menyalah gunakan. Ada banyak kemungkinan bagi kolumnis untuk “memiliki” sendiri gaya dan subjeknya.
Banyak kolumnis menyusun kalimat pembuka atau penutup dengan unik. Ini akan membantu membedakan kolumnsi itu dari kolumnis lainnya yang mungkin menulis topik serupa. Gaya ini akan menjadi ciri khasnya. Kolumnis mahasiswa dapat melakukan hal serupa untuk koran atau majalah kampus. Cara ini akan berhasil jika gaya itu benar-benar unik dan dipakai secara konsisten.
Ada sebuah kolom yang khas dalam judulnya yang konsisten, sering dengan bentuk huruf dan grafik yang mirip dan kolom-kolom lain dikoran. Ini bisa dinamakan “standing hands,” sebab ada disetiap edisi dan tak pernah berubah. Identitas komnis ditampilkan, dan terkadang disertai foto ukuran kecil (foto wajah). Judul kolom biasanya ringkas, dan menggunakan kata-kata cerdas dan menarik. Misalnya, “mecukur habis” biasa dipakai untuk kolom picture sepak bola. Atau “partai gurem” yang merupakan julukan untuk partai kecil yang tidak signifikan.
Opini dibawah ini dikaitkan dengan berita nasiaonal tentang pembunuhan seseorang mahasiswa gay di Wyoming. Ini adalah contoh berita bagaimana kolomnis dapat mengekplor opini personal yang mungkin tidak disetujui oleh staf koran. Kolom opini adalah suara seseorang bukan suara koran (suara editorial). Kolumnis ini juga mengutik sumber yang tepat dan kredibel untuk mendukung argumennya.
“Pelajaran dari tewasnya shepard”
Sebuah surat tergeletak dimeja saya. Saya tidak bisa mengirimkannya, tapi saya tak berani membuangnya. Saya ingat betul hari ketika saya memutuskan untuk menulisnya saya duduk dimeja kamar pada kamis pagi yang dingin dengan merokok sambil membaca koran.
Sebelum membaca apa-apa dihalaman depan, wajahnya menarik perhatian saya. Dia sangat tampan, dengan rambut pirang, mata biru tajam, dan senyum muda. Saya ingat gelombang kejut yang merambat tubuh saya saat membaca headline: “polisi menahan empat orang tersangka kasus pemukulan murid mahasiwa.”
Setelah membaca artikelnya, saya menjadi mual saat bayangan kepalanya yang bocor dan tubuhnya yang berlumuran darah berkelebat dibenak saya. Dia digantung dengan cara disalip dan dibiarkan begitu saja sekarat – sebuah pertunjukan kepada seluruh dunia tentang keberadaan kaum homo seksual. Pemuda yang tampan ini  diambang kematian karena kebencian orang lain.
Malam itu saya menulis surat kepadanya. Saya katakan kepadanya agar ingat bahwa dunia tidak seperti laki – laki yang memukuli mereka. Saya katakan bahwa saya menghargai keberanian untuk menyatakan diri sebagai gay secara terbuka. Saya katakan padanya bawa saya selalu mendoakanya.
Saya ingin agar dia tidak putus asa; saya ingin dia tetap hidup.
Sebelum saya keluar untuk mengirim surat pada senin pagi, saya mendengar berita diradio, saya terlambat. Mattew sheprd, lelaki tampan dengan leleki pirang, mata tajam, dan senyuman muda telah meninggal selamanya. Saya ingat saya menahan air mata saat saya berangkat kesekolah dan selama disekolah. Pulang diskolah saya menangis.
Saya pikir saya harus melakukan sesuatu untuk mencegah hal seperti itu terjadi. Saya tak mengerti mengapa kebencian bisa mendorang orang untuk membunuh. Beberapa kejadian dimasa lampau sangat memengaruhi diri saya.
Saya mendengar pernyataan “kebencian adalah kata yang kuat,” namun pernyataan ini emang lebih banyak kebenaran ketimbang yang disadari orang. Kebencian adalah emosi kuat ia adalah emosi yang tidak perlu dipicu oleh sesuatu yang besar karna dia mendapatkan momentum dengan cepat.
Emosi ini menghancurkan moral, nalar, dan kontrol yang mendorong seseorang sehingga dia bisa melukai atau membunuh karna kebencian itu.(Tom E. Rolnicki et. Al, 2008, PP 147-148).
Share on Google Plus

About Dhiya

    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment