Oleh : Dhiya Urahman
(Mahasiswa
Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam FDK UIN Ar-Raniry Banda Aceh)
ERA media sosial ini ada pemuda muslim melestarikan kegiatan
penyebaran hoax dilakukan demi menyokong (apa yang mereka sebut) dakwah.
Contohnya sering ada share berita si artis atau ilmuwan ‘anu’ masuk
Islam, padahal faktanya tidak demikian. Dahulu ada penyebaran foto Rahib Budha
Tibet yang membantu pengumpulan mayat korban bencana alam di Cina, diputar
balikkan beritanya sebagai foto pembantaian etnis muslim Rohingnya. Itulah
contoh-contoh berdakwah dengan cara kotor.
Mungkin maksudnya baik untuk menambah semangat ke-Islaman atau
menumbuhkan perhatian umat Islam pada saudara muslim di Rohingnya. Namun dakwah
dengan penyebaran hoax ini tentu merupakan cara kotor untuk mengajak orang
dalam kebaikan.
Pergeseran teknologi yang tradisional keteknologi digital juga
membawa perubahan besar dalam cara manusia berkomunikasi. Jika sebelumnya
khalayak media massa dikendalikan oleh informasi dari lembaga media massa,
ketika perubahan teknologi itu terjadi ke arah digitalisasi maka terjadi pula
perubahan pada pola distribusi konten media yang kini dapat berpindah ke posisi
khalayak. Sehingga dominasi media sebagai penyedia konten media tidak lagi
menjadi satu-satunya sumber informasi, justru sebaliknya khalayak juga dapat
menciptakan konten media itu sendiri.
Hal tersebut juga menjadi salah satu sebab berita bohong atau Hoax
banyak tersebar di berbagai media, mulai dari broadcast message, media
cetak, maupun media online. Sebagai masyarakat modern harus pandai dalam
menggali informasi, wajib membaca dengan teliti dan menelusuri sumber dari
berita tersebut dan yang terpenting adalah jangan terlalu mudah untuk
menyebarluaskan berita tersebut sebelum berita tersebut diketahui keasliannya.
Hoax adalah pemberitaan palsu dan upaya penyebarannya yang
bertujuan agar para pembaca percaya terhadap berita palsu tersebut. Sering
sekali hoax itu berisi hal-hal yang baik seperti nasehat dan hikmah dari suatu
peristiwa, peringatan, ajakan dan lain sebagainya. Namun tetap saja itu adalah
hoax atau berita palsu. Dengan demikian pemuda di Aceh dituntut agar lebih
hati-hati dalam menyebarkan pesan.
Berita hoax adalah berita palsu yang diada-adakan atau
diputarbalikkan dari realitas sesungguhnya, banyak kasus atau peristiwa yang
sebenarnya terjadi namun diangkat menjadi sebuah berita dan dikemas sebaik
mungkin agar khalayak tertarik untuk membacanya. Generasi milenial punya
tantangan untuk meningkatkan pola dakwah tradisional ke dakwah virtual yang
memiliki daya jangkau publik yang lebih luas. Dengan demikian, sekali berdakwah
dapat diikuti oleh ratusan ribu bahkan jutaan followers.
Generasi Rentan Waktu
Generasi milenial adalah kelompok demografis setelah generasi X
atau generasi yang lahir antara tahun 1980-2000 an, bisa kita katakan generasi
milenial yaitu generasi muda masakini yang saat ini berusia di kisaran 15-34
tahun.
Dalam buku Ahman Izzan & Usin S.Artyasa Menata Kelola Hidup
agar Lebih Bermakna dan Bahagia dituliskan Generasi milenial, yaitu
generasi yang baru lulus atau baru bekerja profesional sekitar 2-3 tahun
belakangan ini. Generasi termuda ini sering dianggap sebagai pekerja
“suka-suka”. Kecendrungan mereka tidak disiplin dan tidak serius karena jiwanya
lebih didominasi oleh gaya hidup “have fun” alias hura-hura.
Generasi ini sangat dipengaruhi oleh munculnya smartphone, internet,
dan jejaring media sosial, sehingga memiliki pola pikir, nilai-nilai, dan
perilaku yang serba instan dan serba cepat.
Sebagian dari generasi millenial mungkin belum memahami apa itu
berita hoax. Menurut Williard G. Bleyer dalam Wonohito (1960:2) mendefinisikan
berita sebagai segala sesuatu yang hangat dan menarik perhatian sejumlah
pembaca, dan berita yang terbaik ialah berita yang paling menarik perhatian
bagi jumlah pembaca yang besar. (Apriadi Tamburata, Literasi Media,
2013, hal. 87).
Profesor Samaun Samadikun dalam bukunya, Petani Silikon
Indonesia mengatakan bahwa Keterampilan dalam menggunakan dan
memanfaatkan teknologi informasi dapat digunakan sebagai sarana melawan hoax
dan fitnah, dimana teknologi informasi ialah suatu cara untuk menggunakan
informasi sehingga sumber daya (resource) menjadi sesuatu yang lebih
diperlukan oleh masyarakat, biasanya dengan mengolah informasi mengenai sumber
daya tersebut sehingga menjadi “lebih laku”.
Allah SWT telah menegaskan kepada Rasulullah dan umatnya agar tidak
tertipu dengan berita bohong, firman_Nya dalam Al-Qur’an surat Al-Hujurat Ayat
6 mengenai berita bohong ;
Artinya : “Hai
orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu
berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah
kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal
atas perbuatanmu itu”. [Q.S Al-Hujarat ayat 6].
Kita sebagai umat Islam harus teliti dalam mengakses dan
menginformasikan berita, konsep “tabayyun’ dari ayat diatas yang bermakna
“periksa dengan teliti” setiap mendapatkan suatu kabar.
Amalan Sunnah Lewat Medsos
Generasi millenial lebih cenderung menggunakan media-media online
yang sangat mudah diakses oleh masyarakat luas memberi manfaat baik itu berupa
ilmu atau nasehat singkat baik itu melalui status di jejaring sosial maupun
video.
Melaksanakan amalan sunnah di zaman yang canggih ini bisa di
aplikasikan melalui media sosial baik itu melalui facebook, Twitter,
Instagram dan lain sebagainya. Majunya teknologi dan arus informasi membuat
masyarakat lebih terbuka terhadap pengetahuan global, tidak terkecuali dengan
generasi milenial yang terus mengapdate dan dihidangkan dengan media-media
baru. Ketika media baru diperkenalkan, maka media yang lama tidak ditinggalkan
begitu saja, tetapi hidup bersama dan saling berinteraksi dengan media
pendatang baru.
Media mengubah bentuk kontrol sosial, Paul Lazarsfeld dan Robert K.
Merton, seperti dikutip Haris Munandar & Dudy Priatna dalam Media Massa
& Masyarakat Modern, melihat media dapat menghaluskan paksaan sehingga
tampak sebagai bujukan. Mereka mengatakan “Kelompok-kelompok kuat kian
mengandalkan teknik menipulasi melalui media untuk mencapai apa yang
diinginkannya, termasuk agar mereka bisa mengontrol secara lebih halus”.
Pergeseran teknologi dari tradisional ke modern membuat generasi
milenium harus memahami berita yang benar dan berita tidak benar, serta banyak
menyebarkan berita berbau positif. Di mana kemajuan teknologi di zaman sekarang
banyak yang disalahgunakan untuk kepentingan suatu golongan atau kaum.
Sebagai pemuda sekaligus harapan bangsa, sudah seharusnya pemuda
millenial mampu bersikap kritis dalam menganalisa informasi yang layak dan yang
tidak layak untuk dikonsumsi, sehingga pemuda milenial tidak menjadi generasi
penyebar hoax. Semoga!
Dhiya Urahman | Email: dhiyaurahman954@gmail.com
iya, paling sebel kalau dah denger dakwah yang diselingi hoax untuk memperkuat dan ngeyakinin orang, agak gimana gitu
ReplyDeleteperbanyak informasi positif di mbah google.
Deletehehe mungkin itu solusi cerdas dari kita